Saturday, August 12, 2017

BAB 1 - KETURUNAN TERAKHIR KLAN BIRU

Bab 1 – Keturunan Terakhir Klan Biru

5 Tahun berlalu semenjak kejadian tersebut. Awan Biru tumbuh menjadi anak yang sangat sehat dan cerdas, namun demikian dalam hal Silat ia jauh ketinggalan dari murid-murid yang lain, dimana ia masih berada di tingkat 3 Pembuka Energi dari 10 tingkatan. Status Awan Biru di Kuil Nimia adalah Murid Agung, sebuah titel khusus yang hanya diberikan kepada Awan Biru sejak Kuil Nimia didirikan.

Dengan statusnya sebagai Murid Agung, kedudukan Awan Biru diatas murid manapun bahkan melebihi status Murid-Murid Utama, 5 Jenius yang dididik langsung oleh para Tetua. Tentu saja, walaupun para tetua mengerti akan hal ini, namun tidak demikian dengan Para Senior dan murid-murid Junior yang iri.

Hari itu, ketika Awan Biru tengah berlatih ilmu tenaga dalam 4 Penjuru milik Kuil Nimia, seseorang biksu muda berusia 8 tahun datang menghampirinya.

“Salam, abang Awan Biru,” Ujar Biksu itu menundukkan kepalanya memberi hormat, “Semoga dewa menunjukkan belas kasihnya kepada kita!”

“Salam, adik,” Jawab Awan Biru membalas hormat, “Semoga dewa menunjukkan belas kasihnya kepada kita! Ada apa?”

“Hari ini Tetua leluhur baru saja keluar dari semedi tertutupnya. Tetua Pertama menyuruh para murid inti, termasuk Murid Utama dan Murid Agung untuk ke Paviliun Utama untuk menyambut Tetua Leluhur.”

Biksu kecil ini mengucapkan kata Murid Agung dengan nada sindiran dan pandangan meremehkan, jelas sekali kalau ia merasa iri dengan status Awan Biru.

‘Aku saja yang baru berumur 8 tahun sudah mencapai tingkat 3,’ pikir biksu ini dalam hati, ‘kau sudah berusia 12 tahun masih tingkat 3?’

Awan Biru hanya bisa tersenyum kecut mendapatkan hal tersebut namun itu tidak membebani pikirannya, ia sudah sangat terbiasa.

“Baiklah, terima kasih atas pemberitahuanmu, adik,” Ujar Awan Biru sopan sambil memberikan hormat, “Aku akan segera menuju Paviliun Utama!”

“Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu, Abang,” Ujar Biksu itu membalas hormat dan berlalu.

Setelah biksu itu pergi, Awan Biru langsung berlari kekamarnya dan mengganti baju sebelum bergegas menuju Paviliun Utama. Ketika ia masuk, ia sudah disambut ratusan murid-murid inti dan 5 Murid utama serta seluruh Tetua yang telah berbaris rapih. Di atas aula, terdapat 11 Kursi Batu, dimana duduk ditengah-tengah, seorang pria tua berambut dan berjenggot putih seperti salju. Berbeda dengan para murid, seluruh tetua melihat Awan Biru dengan pandangan yang lembut dan penuh kasih sayang.

Sesuai dengan posisinya, Awan Biru berdiri di depan kelima Murid Utama dan para Murid Inti dan memberi komando untuk menghormat.

Melihat itu, Tetua Leluhur langsung tertawa girang dan tersenyum lepas. Pandangannya menyapu Awan Biru dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan ketika mengetahui kalau anak ini sehat dan gemuk, ia sangat senang. Masalah tingkatan kekuatan adalah masalah yang tidak berarti bagi Tetua Leluhur ini.

“Awan Biru, bagaimana keadaanmu setahun ini?” Tanya Tetua Leluhur, ia memang sering mengurung diri untuk bersemedi bertahun-tahun, berusaha memperpanjang umurnya hingga salah seorang muridnya mencapai tingkatan Kaisar Abadi, barulah ia bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang.

“Hormat kepada Guru!” Ujar Awan Biru, “Saat ini keadaanku sangat baik dan sehat, Guru tidak perlu khawatir!”

Tetua Leluhur dan para tetua lainnya mengangguk senang mendapatkan jawaban dari Awan Biru.

“Kudengar kau sudah mahir dalam berbagai ilmu strategi perang dan militer,” Kata Tetua Leluhur lagi, “Bahkan kudengar kau telah melampaui kehebatan Tetua Indra Wicaksana dalam hal ini, apakah benar apa yang kudengar itu?”

“Guru terlalu memuji,”Ujar Awan Biru, “Apa yang kupelajari saat ini hanya 1/100 dari apa yang Tetua keempat punya. Aku masih perlu banyak belajar lagi.”

“Bagus, bagus,” Ujar Tetua leluhur senang, “Dalam hidup ilmu silat bukanlah segala-galanya. Masih banyak cara untuk menjadi seorang manusia yang dikenang dalam sejarah!”

Awan Biru hanya mampu tersenyum getir ketika mendengar hal tersebut. Ia tahu betul bagaimana sejarah Klan dan hubungannya dengan Kuil Nimia ini.

‘Jika leluhurku saja mampu menjadi yang terkuat, maka aku juga pasti bisa!’

“Baiklah, sekarang aku ingin melihat perkembangan kalian,” Ujar Tetua leluhur mengalihkan perhatiannya kepada Murid Utama dan Para Murid inti lainnya, “Awan Biru, kau bisa keatas dan memperhatikan bagaimana ilmu silat mereka, ini akan menjadi pelajaran yang sangat baik bagimu.”

“Aku mengerti, Guru!” Ujar Awan Biru menurut dan menaiki tangga duduk di bangku kosong, disebelah para Tetua.

Perlahan aula tersebut dikosongkan dan menyisahkan para murid inti yang berjumlah sekitar 120 orang. Dari atas, para tetua dan para murid utama duduk memperhatikan bagaimana pergerakan para murid inti. Beberapa kali para tetua mengangguk setuju melihat perkembangan mereka namun ada beberapa murid pula yang membuat mereka mengerutkan keningnya.

Setelah para murid inti mempertunjukkan kebolehan, barulah kelima murid utama turun ke aula dan masing-masing memperagakan teknik yang mereka miliki.

Murid utama nomor 1 bernama Kevin Wimala, dia murid langsung dari Tetua Cahya Wijaksana, Tetua utama nomor 1. Usianya baru 23 tahun namun kemampuan dia sangatlah hebat. Dengan menggunakan tongkat besi, ia melompat kesana kemari dengan lincah dan menghancurkan semua yang menghalanginya.

“Abang,” Ujar Tetua Kedua, “Muridmu ini sungguh luar biasa. Ia berhasil mempelajari silat kera sakti dengan sempurna, setiap gerakannya mengalir dan tidak bisa ditebak. Bahkan, ia juga telah mencapai tingkatan Inti Energi Puncak, hanya tinggal selangkah lagi ia kan mencapai tingkatan Inti bercahaya!”

Menanggapi pujian adiknya, Tetua pertama hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, “Tidak, tidak. Kau tidak boleh memuji anak itu, nanti ia akan menjadi besar kepala!”

“Walaupun gerakannya halus dan bagus namun ia masih mempunyai kekurangan dalam memanfaatkan wilayah,” Ujar Tetua leluhur kepada Tetua Pertama, “Selain itu, dalam ilmu pernafasan Qinya tidak stabil dan selalu mengalirkan tenaga melebihi dari keperluannya. Cahya, berikan ia 2 pil pengalir Qi dan kitab pernapasan 1 energi!”

Wajah Tetua pertama langsung tersenyum cerah mendengar ucapan Tetua leluhur, “Terima kasih, Inti Energi!”

Setelah Kevin Wimala, murid kedua muncul dengan membawa golok. Dia bernama Ribut Wimala dan usianya baru 20 tahun. Namun demikian, kemampuannya tidak kalah dengan Kevin Wimala, dalam usianya yang muda ia telah mencapai tahapan Inti Energi.

“Ilmu silat pembelah rupa!” ujar Tetua Kelima mengenali, “Ilmu silat ini terkenal kaku namun sangat kuat, jika digabungkan dengan ilmu pernapasan 4 penjuru maka ia tidak bisa terkalahkan!”

“Ilmu pernapasan 4 penjuru milik Kuil kita memang sangat terkenal,” Tetua Kedua setuju, “Akan tetapi untuk mempelajarinya dengan sempurna diperlukan pengorbanan yang sangat besar! Ribut Wimala tidak memiliki kesabaran yang cukup untuk mempelajari ilmu pernapasan itu dan lebih fokus dengan ilmu goloknya. Aih, bahkan akupun sudah kewalahan membujuk anak ini!”

“Kau tidak perlu khawatir, berdasarkan apa yang kulihat, muridmu itu sangat tekun dalam ilmu golok,” Tetua leluhur memberikan pendapat, “Ajarkan saja dia ilmu pernapasan Bunga Kusuma, maka tenaga Qinya akan mulai mengalir masuk. Setelah itu, 1 tahun kemudian, barulah kau suruh dia mempelajari kitab pernapasan 4 arah!”

“Murid mengerti, guru!” Seru Tetua kedua senang.

Setelah Ribut Wimala, yang masuk berikutnya adalah Kayu Wimala, murid dari Angin Wicaksana. Berusia 21 tahun dan mempunyai kekuatan di tahapan Inti Energi. Ia menggunakan sepasang pedang lentur dan gerakan sangat lincah.

“Qinya berada dalam jalur yang benar,” Kata tetua leluhur, “Namun fisiknya sangatlah kurang. Jika ia berhantaman dengan tenaga keras maka ia akan mudah terguncang dan kalah. Suruh dia mempelajari lagi kuda-kudanya!”

“Baik, Guru,” Ujar Tetua ketiga agak malu.

Murid utama nomor 4 bernama Era Wimala. Dia disebut-sebut sebagai jenius dari semua jenius. Usianya baru 18 tahun dan telah mencapai tingkatan Inti Energi awal. Sungguh kemampuan yang sangat mengerikan. Dengan sepasang kujangnya ia memperaktekan gerakan-gerakan sederhana namun sangat mematikan, setiap langkahnya menggunakan Qi yang tepat hampir tidak ada celah.

“Bagus!” Puji tetua leluhur, “Era Wimala memang seorang jenius!”

Mendengar hal tersebut para tetua lain menjadi terdiam, hanya tetua keempat saja yang tersenyum bangga, “Terima kasih atas pujian Guru!”

Murid terakhir dari 5 murid utama bernama Lima Wimala. Dia berusia 20 tahun dan baru mencapai tahapan Inti Energi awal, bisa dibilang dibandingkan keempat saudaranya dia sangat tertinggal.

Dengan menggunakan tombak sebagai senjatanya, Lima Wimala menyerang ke berbagai arah. Serangannya sederhana dan tepat, tidak ada kesia-siaan dalam gerakannya.

“Bagus!” Puji Tetua Leluhur, “Jika dia dididik dengan penuh disiplin maka tidak menutup kemungkinan ia menjadi yang terkuat!”

Mendengar pujian tetua leluhur semua orang langsung memandang takjub kearah Lima Wimala. Walaupun begitu, selain Tetua leluhur dan kelima tetua utama, tidak ada lagi yang paham alasan kenapa Lima Wimala begitu dipuji.

Setelah semua murid selesai memperagakan jurus-jurusnya, pandangan Tetua leluhur mengarah kepada Awan Biru.

“Sekarang giliranmu,” Ujar Tetua leluhur, “Guru ingin sekali melihat perkembanganmu selama setahun ini”

Awan Biru mengangguk dan turun menuju aula.

Di atas aula, Awan Biru mulai mempraktekan jurus-jurus yang ia tahu. Berbeda dengan para murid utama, Awan Biru masih menggunakan jurus-jurus tangan kosong dan beberapa teknik langkah sederhana. Walaupun begitu, tidak ada satupun ketidaksukaan diwajah para tetua, semuanya memandang Awan Biru dengan lembut.

Melihat bagaimana dirinya dipandang seperti itu, mau tidak mau rasa minder Awan Biru tumbuh. Ia merasa tidak berguna dan tidak punya harapan, bahkan para tetua yang sangat tegas tidak menaruh harapan kepada dirinya.

“Tidak buruk,” puji Tetua Leluhur, “Jika kau berlatih lebih tekun lagi, maka kau akan bisa menyusul kelima murid yang lain”

Tidak ada maksud buruk dari Tetua leluhur ketika mengucapkan hal itu, ia hanya ingin agar Awan Biru tidak menyerah. Namun, bagi para generasi junior, kata-kata ini merupakan penghinaan.

“Murid mengerti, guru,” ujar Awan Biru sungguh-sungguh walau didalam hatinya ia merasa teriris-iris.


Malam harinya acara penyambutan telah selesai dan masing-masing murid kembali ke tempatnya untuk berlatih atau melakukan tugas-tugasnya. Awan Biru juga kembali ke paviliunnya, paviliun khusus yang diberikan Kuil Nimia kepada Klan Biru. Paviliun ini berada di samping Paviliun utama dan tidak sembarang orang yang dapat memasukinya.

Merasa pusing, Awan Biru langsung menuju kamarnya. Kamar Awan Biru tergolong luas, dengan ukuran sekitar 15 M². uniknya, dikamar itu tidak ada lemari ataupun kasur, yang ada hanyalah sebuah kain halus yang tergantung di sisi tembok seperti gorden. Kain itu memenuhi hampir seluruh ruangan.

Awan Biru langsung melompat ke sisi tembok dan menutupi seluruh tubuhnya dengan kain itu. ini merupakan teknik khusus milik klan Biru, dimana sejak kecil mereka selalu dibiasakan untuk tidur diatas kain. Tidak mudah untuk menguasainya, bahkan Awan Biru sering sekali jatuh sewaktu kecil, namun sekarang ia sangat mahir dalam teknik ini, ia bahkan mampu bergerak ke setiap sisi kain hanya dengan berguling kesana kemari tanpa terjatuh, seperti sedang menonton sirkus.

“Ayah, ibu,” Ratap Awan Biru, “Anakmu ini sungguh bodoh dan tidak berguna. 15 tahun namun kekuatan yang kumiliki hanya di tingkat 3 Pembuka Energi! Maafkan aku, ayah ibu!”

Setiap hari Awan Biru hanya mampu menangis meratapi nasibnya. Tidak ada yang tahu alasan kenapa dirinya tidak mampu menembus tingkat 4, tidak ada yang tahu. Bahkan Tetua leluhur yang telah mencapai tingkatan Kaisar Abadi saja tidak mengerti.

Awan Biru terbangun setelah tidur beberapa jam saja. Walaupun hari masih sangat gelap, namun Awan Biru mulai berlatih ilmu beladiri Klan Biru, ia bergerak kesana kemari ke setiap ruangan tanpa sedikitpun turun dari kainnya. Dengan teknik pernapasan yang sangat khusus Awan Biru mengalir kesetiap sisi kain, merayap kesetiap sudut tembok, meluncur dan berguling seakan dirinya tengah menari. Ini seperti seekor laba-laba yang berjalan mengelilingi jaringnya, namun dengan sangat anggun dan indah.

Tidak berapa jauh dari tempat tersebut, Tetua leluhur dan Tetua pertama memperhatikan Awan Biru dari atas paviliun utama. Walaupun jarak antara mereka terpisah 500 meter, namun mata kedua orang tua ini masih sangat tajam dan mampu melihat jelas bagaimana kegiatan Awan Biru.

“Dia benar-benar rajin,” Puji Tetua leluhur.

“Sebenarnya apa yang terjadi terhadap tubuhnya, guru?” Tanya Tetua pertama, “Kenapa susah sekali untuk menembus tingkat 4? Aku sudah memerintahkan para alchemist dan tabib untuk menyiapkan obat-obatan terbaik selama tahun-tahun terakhir ini, namun tidak ada satupun yang berhasil!”

“Dulu, ketika aku masih seorang murid, aku pernah bertemu langsung dengan Langit Biru dan melihat sendiri bagaimana ia berdiri di hadapan para musuh-musuh untuk melindungi Kuil Nimia ini,” Ujar Tetua leluhur, “Aku dan banyak sekali anak muda lainnya sangat menganggumi Langit Biru dan bertekad untuk menjadi muridnya, namun Langit Biru tidak pernah menerima seorang muridpun sepanjang hidupnya. Walaupun begitu, saat itu, aku tidak menyerah untuk menjadi muridnya hingga suatu saat Langit Biru memanggilku dan menceritakan alasan ia tidak menerima seorang muridpun.”

“Apa alasannya, guru?”

“Dia bilang kalau ilmunya merupakan sesuatu yang tidak bisa diajari, melainkan didapatkan secara kebetulan,” Ujar Tetua Leluhur, “Dia mengatakan kalau dirinya mendapatkan ‘Angin Sejati’ dan menggunakannya sebagai inti dari jurus-jurusnya tersebut. Bahkan, ia mengatakan, kalau keturunannya sajapun belum tentu bisa mewarisi kemampuannya, apalagi orang lain”

“Angin Sejati.. Kekuatan Elemental. Aku mengerti!” Ujar Tetua pertama mengangguk, “Namun itu tidak menjelaskan penyebab kelainan yang dimiliki Awan Biru.”

“Setelah penolakan itu aku fokus mempelajari ilmu Kuil Nimia,” Lanjut Tetua Leluhur, “Dan semakin aku bertambah kuat semakin aku mengerti alasan Langit Biru. Kekuatan Elemental ‘Angin Sejati’ merubah struktur tubuh, pernapasan maupun Qi yang Langit Biru miliki. Terlebih lagi, efek mutasi itu ikut terbawa ke keturunannya! Itulah penyebabnya kemampuan Klan Biru semakin mundur generasi demi generasi!”

“Rupanya begitu,” Ujar Tetua pertama setelah terdiam beberapa saat, “Tapi, kenapa hal ini tidak berpengaruh ke ayah Awan Biru?”

“Tebakanku adalah, Langit Biru mewarisi beberapa ilmu kepada anak-anaknya agar Qi dalam tubuh mereka tidak terkunci. Namun sebelum Guntur Biru memberitahukan kepada Awan, ia sudah terlebih dahulu meninggal dunia!”

Tetua Pertama menggertakkan giginya ketika mengingat kematian Guntur Biru. Ia masih ingat betul bagaimana perlakuan pria itu kepada Kuil Nimia dan kepada dirinya, sungguh orang yang luar biasa!

“Tidak adakah yang bisa kita lakukan, guru?”

“Kurasa ada 1 cara lagi yang dapat kita upayakan!”

“Apa itu?”

“Membawa Awan Biru menuju kuil Hati Kudus!”

“...”

“Ilmu Klan Biru merupakan ilmu yang lembut dan halus, sangat berbeda dengan ilmu Kuil Nimia yang kasar dan kuat,” Tetua leluhur menjelaskan, “Terlebih, ilmu silat Kuil Hati Kudus terinspirasi dari ilmu silat Langit Biru!”

“Apakah perempuan itu akan mau membantu kita?”

Tetua Leluhur mengangguk, “Sebenarnya alasanku keluar dari persemedian karena adanya balasan dari Kuil Hati Kudus ini. mereka bersedia membantu kita!”

“Itu berarti?”

“Aku dan Awan Biru akan mengadakan perjalanan panjang!”






No comments:

Post a Comment